Gelar Akademis VS Kematangan Mental
Mentalitas penumpang terikat oleh fixed mindset. Pendidikan yang diraih belum tentu mampu mengantarkan seseorang pada kematangan mental

Gelar akademis yang berjubel di usia muda

bukan jaminan kematangan mental seseorang

- Anonim -

 

Inilah potret dari sebuah kenyamanan yang menghanyutkan. Mentalitas passenger merajalela di lingkungan akademik, tidak hanya kita temukan melalui sdm-sdm terbaru, tapi produknya juga tidak kalah mencengangkan, mereka berubah menjadi generasi servis. Akibatnya, mereka terbiasa melakukan hal-hal yang rutin dan miskin reflektif, serta punya kecenderungan untuk menjilat penguasa, itulah penumpang.


Mental penumpang terikat oleh fixed mindset. Padahal prinsip orang belajar adalah berpikir, yaitu bagaimana seseorang memperbaiki cara berpikirnya. Tetapi kalau setiap hari dijejali dengan penyiksaan otak yang rawan mereka akan mudah hancur digerus oleh ketidakpastian. Dampaknya sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, beredarnya orang-orang bergelar hebat, pintar, merasa tahu banyak, tetapi selalu mudah disetir. Rhenald Kasali pernah mencatat, banyak orang berkuliah dan menjadi sarjana tapi mereka tidak belajar. Belajar tidak hanya ditakar dari kemampuan kognitif semata, tapi aspek afektif dan psikomotoriknya juga harus diperhatikan. Kata lainnya, senang diservis tapi tidak berani mengambil resiko.


Kalangan terdidik yang senantiasa menikmati zona nyaman, pada titik tertentu justru dipertanyakan kendali dirinya, dengan berat hati harus diakui, pendidikan yang diraih belum tentu mampu mengantarkan seseorang pada kematangan mental. Sebuah kisah dalam khazanah keislaman klasik dapat menjadi metafora, betapa kesuksesan dalam menuntut ilmu tidak hanya menuntut pembuktian gelar dan sejumlah prestasi (Lathifah, 2016). Banyak orang-orang pintar dan cerdik merasa dunia berada dalam genggamannya, padahal itu adalah kepuasan diri yang semu. Layaknya strawberry, cantik dan menarik tetapi mudah terkoyak.


‘’Mentalitas penumpang terikat oleh fixed mindset. Pendidikan yang diraih belum tentu mampu mengantarkan seseorang pada kematangan mental.’’


Kondisi yang demikian semakin banyak ditemui hampir di semua sektor. Di balik kegagahan profesi dan gelar akademis, ada jiwa-jiwa yang meradang. Terkesan arogan tapi nyatanya ciut dengan tekanan baru. Senang mencurigai orang lain tapi juga menutup diri pada kritik. Hobi mencari-cari kesalahan orang lain tapi menutup mata pada kesalahannya sendiri, maunya selalu benar meski kebenaran bukan miliknya. Itulah budaya yang dipertontonkan oleh lingkungan-lingkungan borjuis yang haus validasi. Lebih menarik lagi, orang-orang ini pandai bermuka dua. Mereka lihai menyembunyikan aktingnya tapi gerakannya mudah terbaca. Satu orang yang sakit, semuanya sibuk cuap-cuap, bisingnya mengalahkan kicauan burung di pagi hari meskipun tidak terlihat– itulah yang dinamakan dengan toxic culture yang mendarah daging sejak lama.