Secara umum studentpreneurship diartikan sebagai pelajar (mahasiswa) yang menjalankan wirausaha. Studentpreneurship bukan fenomena baru di Indonesia. Namun harus diakui, istilah tersebut mulai populer seiring dengan meningkatnya minat mahasiswa untuk berwirausaha. Salah satu pemicunya yaitu adanya pembelajaran kewirausahaan yang diperoleh dari kampus, seperti program mahasiswa wirausaha yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dengan mengucurkan dana pengembangan milyaran rupiah. Program tersebut kemudian dikembangkan oleh kampus-kampus guna tercipta 1 juta wirausaha baru khususnya di kalangan mahasiswa.

Tentu ini menjadi angin segar bagi mahasiswa-mahasiswa yang ingin menumbuhkan jiwa wirausahanya. Sebab program sejenis terbukti mampu mendorong para mahasiswa menciptakan ide kreatif untuk menangkap peluang usaha, dengan suntikan dana yang tersedia maka embrio bisnis para mahasiswa yang terpilih pada program tersebut diharapkan dapat berkembang dan mampu menciptakan inovasi-inovasi baru dalam bidang wirausaha sebagai wujud bangkit bersama UMKM Indonesia. 

Salah satu bisnis mahasiswa yang berkesempatan mendapat suntikan dana tersebut adalah Liliscarf, sebuah usaha penjualan hijab yang dilakoni oleh seorang mahasiswa akuntansi. Bermula dari hobinya mengoleksi hijab dari berbagai merek, akhirnya ia terinspirasi untuk menciptakan brand-nya sendiri dengan misi sosial menyediakan produk hijab yang ramah di kantong bagi kalangan mahasiswa. Liliscarf hadir sebagai jawaban dari kesulitan mahasiswa menemukan hijab dengan harga terjangkau namun kualitas bahannya oke. 

Ketika pertama kali diluncurkan, Liliscarf hanya dipasarkan secara konvensional di Sunday Morning (sunmor). Penjualannya yang lumayan laris dan menguntungkan, membuat brand tersebut mulai dikenal oleh lapisan masyarakat. Namun keberuntungan itu tidak berlangsung lama, pemasaran Liliscarf sempat mengalami kemacetan ketika sunmor ditutup sementara akibat adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang dianjurkan oleh pemerintah saat covid-19 melanda dunia. Ditengah krisis itulah akhirnya Liliscarf memutuskan untuk mengubah strategi penjualannya. Ia beralih ke pemasaran digital dengan bantuan jasa layanan pengiriman seperti JNE untuk memenuhi pesanan pelanggan. 

Hadirnya JNE memberi manfaat luar biasa bagi pelaku jual beli online. Owner Liliscarf mengakui, pelayanan JNE yang memuaskan dengan mengutamakan kenyamanan pelanggan serta biaya pengiriman yang bersahabat membuatnya sulit berpaling ke layanan jasa pengiriman lainnya. Apalagi dengan tersedianya layanan JNE yang beragam seperti JNE Reguler, JNE Yes, JNE Oke, JNE Ss, JNE Trucking, dan JNE Pick-Up Point dengan titik tujuan pengiriman yang luas sangat memudahkannya untuk mengirim produk Liliscarf dalam jumlah besar ke setiap reseller maupun konsumen yang membeli dalam jumlah satuan. Liliscarf yang pada saat pandemi covid-19 hampir bangkrut karena terkendala pemasaran, kini bangkit bersama JNE sebagai distributor terpercaya untuk mengantarkan produknya sampai tujuan dengan aman. 

Di era pasca pandemi ini, Liliscarf semakin melebarkan sayapnya dalam dunia fashion muslimah dengan meluncurkan produk baru berupa busana muslim orang dewasa dan anak-anak. Hal tersebut menyempurnakan iconik Liliscarf yang awalnya identik dengan hijab. Dari bisnis kecil-kecilan yang dijalani seorang mahasiswa, kini Liliscarf mampu menjadi salah satu brand lokal yang paling diminati oleh masyarakat. Owner Liliscarf meyakini bahwa keberhasilan tersebut tidak terlepas dari optimismenya untuk terus berinovasi dan memberikan yang terbaik bagi konsumen. Melayani dari hati tanpa mengabaikan kualitas dan konsistensi, menjadi motto bisnis Liliscarf selama ini. Untuk itu, penting bagi siapa pun yang ingin berbisnis agar senantiasa mengendepankan kepuasan pelanggan atas barang/jasa yang ditawarkan. Dengan tetap mengandalkan layanan JNE, Liliscarf siap menerima orderan busana muslim masyarakat di seluruh Indonesia.