Nasib Mahasiswa DO: Masa Depan Suram?
Mahasiswa DO akan mengalami kecemasan antisipatori, yaitu kecemasan berlebihan akan situasi pada masa depannya. Tentu bukan hal yang mudah baginya menerima kenyataan gagal dalam menyelesaikan studi dan terbayang-bayang masa depan yang suram...

’A dream doesn’t become reality through magic, it takes sweat, determination and hard work.’’ Demikian ujar politisi legendaris Amerika Colin Powell yang kata-katanya banyak dikutip oleh politisi di seluruh dunia. Banyak orang yang memiliki keinginan tapi hanya sedikit  yang mampu mewujudkannya. Biasanya mereka hanya bermimpi pengen ini/pengen itu namun tak kunjung  dieksekusi. Kalaupun ada usaha untuk meraihnya, tak jarang semangatnya di awal saja kemudian  di tengah jalan prosesnya  tiba-tiba terhenti. Itulah kenapa diperlukan  kekonsistenan dan keuletan agar bisa mewujudkannya.


Selaras dengan itu, kita sering kali mendengar para pelajar di sekitar kita banyak yang ingin melanjutkan pendidikan ke kampus-kampus bergengsi dan mengambil jurusan yang keren. Ketika berhasil masuk, euforianya tak dapat terbendung saking senangnya. 


Semuanya terasa indah dan lancar di awal. Namun setelah memasuki tahun akademik kedua atau ketiga tak sedikit yang mulai jenuh, performanya tidak sebagus dulu lagi. Akhirnya tak jarang dari mereka yang menjalani kuliah melebihi masa studi. Inilah salah satu faktor yang dominan dalam terjadinya kasus Drop Out (DO).


‘’Banyak orang yang memiliki keinginan tapi hanya sedikit  yang mampu mewujudkannya.’’


Kuliah melebihi ketentuan batas waktu yang ditetapkan oleh perguruan tinggi memang menjadi masalah krusial bagi mahasiswa karena dapat mengancam kelulusan. Untuk jenjang S1, waktu yang diperlukan untuk meraih gelar sarjana idealnya adalah delapan semester/empat tahun. 


Untuk mengantisipasi terjadinya DO, mayoritas perguruan tinggi menetapkan maksimal waktu tempuh untuk program S1 adalah dua belas semester/enam tahun. Beberapa kampus memperbolehkan hingga empat belas semester/tujuh tahun. Yang menjadi masalahnya adalah, apabila mahasiswa tidak berhasil menyelesaikan studinya pada batas waktu tersebut, sudah pasti ijazah dari kampus yang bersangkutan tak dapat dikantongi.

ugji

Dampaknya pada mahasiswa yang terkena DO tidak main-main. Beberapa pengalaman yang tercatat, mahasiswa DO akan mengalami kecemasan antisipatori, yaitu kecemasan berlebihan akan situasi pada masa depannya. Tentu bukan hal yang mudah baginya menerima kenyataan gagal dalam menyelesaikan studi dan terbayang-bayang masa depan yang suram. 


Di sisi lain, mereka juga akan mendapat stigma buruk di lingkungan sosial. Mereka merasa malu untuk berinteraksi dan takut tidak diterima oleh lingkungannya. Untuk mencegah kondisi tersebut berlarut-larut, diperlukan penerimaan diri dan dukungan dari lingkungan sekitar terutama keluarga. Tidak ada yang tahu masa depan seseorang bagaimana, jadi tidak perlu menjustifikasi secara berlebihan mahasiswa hanya karena status DO. Bisa saja ia lebih sukses nantinya karena ijazah bukanlah segalanya.


‘’Mahasiswa DO akan mengalami kecemasan antisipatori, yaitu kecemasan berlebihan akan situasi pada masa depannya. Mereka juga akan mendapat stigma buruk di lingkungan sosial.’’


Meskipun kebanyakan orang sukses punya latar pendidikan yang bagus-bagus dengan gelar berjejer rapi, namun ada juga orang sukses tanpa ijazah sarjana bahkan tanpa latar belakang pendidikan tinggi. Kita tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh seperti Mark Zuckerberg yang sukses dengan Facebook, Daniel Ek sukses dengan Spotify, atau Bill Gates dengan Microsoft. 


Di Indonesia sendiri, ada Bob Sadino yang tidak pernah menamatkan kuliahnya tapi sukses jadi pengusaha. Bob Sadio tercatat pernah mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) akan tetapi tidak menamatkannya, karena ia menganggap kuliah itu membosankan. Contoh lainnya adalah Susi Pudjiastuti, beliau bahkan tidak menamatkan SMA-nya tapi juga sukses sebagai pengusaha. Meskipun tokoh-tokoh tersebut kasusnya berbeda dengan mahasiswa DO, namun konteksnya sama, yaitu sama-sama tidak memiliki ijazah pendidikan tinggi.


Satu hal yang perlu diketahui, punya atau tidak punya ijazah sarjana bukanlah jaminan kesuksesan dan bukan pula jaminan kegagalan. Kemauan untuk bangkit dalam diri-lah yang harus terus kamu pupuk biar tidak memiliki masa depan yang suram. 


Terimakasih sudah membaca. Semoga bermanfaat ya 🙂