Sekapur Sirih Tentang Budaya FoMO
FoMo merujuk pada suatu kondisi yang dapat menimbulkan kekhawatiran maupun ketakutan untuk ketinggalan terhadap sesuatu yang up to date.....

Benarkah teknologi telah mengubah pikiran, perasaan, dan tindakan manusia? 


Seperti yang kita ketahui bersama, dalam peradaban digitalisasi banyak fenomena terjadi yang bahkan tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Sebut saja yang baru-baru ini muncul dan populer di kalangan anak muda, yaitu sebuah fenomena yang kerap disebut Fear of Missing Out (FoMO). Istilah FoMO pertama kali dipopulerkan oleh seorang penulis bernama Patrick J. McGinnis dalam artikel berjudul McGinnis Two Fos: Social Theory at HBS yang diterbitkan oleh majalah The Harbus (Wikipedia, 2024). Umumnya, FoMO dapat terjadi pada berbagai kalangan, akan tetapi secara signifikan dialami oleh remaja yang cenderung mengakses media sosial dalam intensitas yang lama. 


FoMo merujuk pada suatu kondisi yang dapat menimbulkan kekhawatiran maupun ketakutan untuk ketinggalan terhadap sesuatu yang up to date, dalam hal ini dipengaruhi oleh media sosial. Kita cenderung gelisah atas hal-hal yang tampaknya riil yang disuguhkan oleh media sosial. Namun harus diakui, kemampuan media sosial untuk memviralkan informasi dan tren membuat kita cenderung ikut serta dalam pembicaraan yang sedang berkembang (Ingrida, 2024). 


FoMO merupakan jenis motivasi emosional yang didasari oleh adanya kebutuhan psikologis yang belum terpenuhi, yaitu kebutuhan akan pengakuan dan penerimaan dari suatu kelompok (Anggraeni, 2014). Hal ini akan menjadi pemicu bagaimana seseorang akan berusaha memuaskan egonya demi sebuah validasi publik. 


Kini, media sosial turut mengubah bagaimana kaum muda khususnya generasi Z menghabiskan waktunya. Berdasarkan hasil survey McKinsey yang dipublikasikan pada laman Data Indonesia (2023), terdapat 58% responden dari generasi Z yang menghabiskan lebih dari 1 jam waktunya untuk bermain media sosial. Kemudian sebanyak 35% mengakses media sosial lebih dari 2 jam, dan 23% lainnya menghabiskan waktu 1-2 jam sehari untuk membuka media sosial. 


Mereka tidak hanya menghabiskan waktu untuk mencari tahu berita yang mereka butuhkan, namun tanpa sadar mereka menggunakannya untuk mengikuti kehidupan dan kegiatan orang lain, dimana seolah-olah mereka harus mengetahui setiap hal yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya karena media sosial memudahkan individu untuk terus up to date terhadap semua berita baru, apa saja yang telah mereka lewatkan dan memastikan bahwa mereka tidak tertinggal (Aisafitri & Yusriyah, 2020). 


FoMO Sebagai Gaya Hidup 

Abel (2016) mengungkapkan bahwa seseorang dikatakan FoMO apabila ia mengalami gejala-gejala seperti; tidak dapat melepaskan diri dari ponsel; cemas dan gelisah jika belum mengecek akun media sosial; lebih mementingkan berkomunikasi dengan rekan-rekannya di media sosial; terobsesi dengan status dan postingan orang lain; dan selalu ingin eksis dengan membagikan setiap kegiatannya melalui media sosial; hingga merasa depresi jika sedikit orang yang melihat postingannya. 


Sementara itu, seseorang yang mengidap FoMO juga dapat diidentifikasi dari berbagai aspek lainnya, salah satu yang paling rentan terjadi yakni FoMO terpapar melalui gaya hidup. Hal ini terjadi karena peluang seseorang untuk memperoleh pengakuan akan lebih besar jika menampilkan gaya hidup yang sesuai standar dalam kelompoknya, baik itu dari segi penampilan maupun kehidupan sosial. Hal itu pula lah yang memicu budaya konsumtif kian menjadi di era digital ini. 


Di sisi lain, kondisi demikian dapat menjadi bumerang jika yang ditampilkan hanyalah hasil manipulasi untuk mencari sensasi bahkan kebahagian palsu di jagat maya. Selaras dengan itu, Salam (2024) memaparkan bahwa saat ini citra dan fakta susah dibedakan, mengingat semua kegiatan dengan gampangnya diposting di media sosial. Kini, FoMO seakan tak terpisahkan di era yang banjir informasi ini.


Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat ya 🙂